Berbagi Informasi Agar Tidak Salah Paham

Edukasi

Hubungan sejarah Aceh dan Tiongkok

Selasa, 24 Januari 2017, 02.39 WAT
Last Updated 2020-07-15T07:45:19Z
Advertisement


Catatan sejarah tertua dan pertama-tama mengenai kerajaan-kerajaan 
di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam 
catatan sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu 
kerajaan yang terletak di Sumatra Utara pada abad ke-6 yang 
dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada abad ke-13 teks-teks 
Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-
li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui 
bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan 
Shamsuddin) utusan ke Tiongkok.

Didalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya 
bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap 
mengenai kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la 
(Samudra), Lan-wu-li (Lamuri).
Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan 
barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah 
catatan terperinci mengenai Aceh modern.

Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai 
dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, India sampai 
Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur 
sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur 
Tengah, dimana para pedagang dari berbagai negara mampir  
dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok 
atau Timur Tengah, India. 

Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 
13) dan Ibnu Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari 
Tiongkok. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai 
ini adalah lada dan banyak diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak 
barang-barang Tiongkok seperti Sutera, Keramik, dll. diimpor ke 
Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng Ho juga mampir dalam 
pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang tertanggal 
1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada waktu itu.

Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam 
(dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam 
keseluruh Nusantara pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini 
disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur Tengah) atau Gujarat 
(India), yang singgah atau menetap di Pasai.

Dikota Samudra Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti 
adanya "kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja 
Pasai. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri, 
komunitas Tionghoa telah berada di Aceh sejak abad ke-13. Karena 
Samudra Pasai ini terletak dalam jalur perdagangan dan pelayaran 
internasional serta menjadi pusat perniagaan internasional, maka 
berbagai bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana yang 
berkarakter kosmopolitan dan multietnis.

Tome Pires menyebutkan bahwa kota Pasai adalah kota penting yang 
berpenduduk 20.000 orang. Pada tahun 1524 Samudra Pasai ditaklukan 
oleh Sultan Ali Mughayat Syah dari kerajaan Aceh Darussalam dan 
sejak itu Samudra Pasai merosot dan pudar pamornya untuk 
selamanya.

Puncak kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam adalah ketika pada jaman 
Sultan Iskandar Muda (1607-36), Aceh pada waktu jaman Iskandar Muda 
ini adalah negara yang paling kuat diseluruh Nusantara. Ia 
meluaskan wilayah kekuasaannya dan memerangi Portugis, Kesultanan 
Johor, Pahang dll. Aceh juga merupakan sebuah negara maritim dan 
sebagai salah satu pusat perdagangan internasional. Banyak pedagang 
asing singgah dan menetap di Aceh, seperti dari Arab, Persia, Pegu, 
Gujarat, Jawa, Turki, Bengali, Tionghoa, Siam, Eropah dll. 

Di kota kerajaan ini (Banda Aceh sekarang), banyak dijumpai 
perkampungan- perkampungan dari berbagai bangsa, seperti kampung 
Cina, Portugis, Gujarat, Arab, Pegu, Benggali dan Eropah lainnya. 
Kota Aceh ini benar-benar sebuah kota kosmopolitan yang berkarakter 
internasional dan multietnis. Seperti di Samudra Pasai, Aceh juga 
banyak menghasilkan Lada yang diekspor ke Tiongkok. 

Pada waktu itu orang Aceh juga telah menguasai pembuatan atau 
pengecoran pembuatan Meriam dan tidak semua meriam di Aceh adalah 
buataPada waktu itu orang Aceh juga telah menguasai pembuatan atau 
pengecoran pembuatan Meriam dan tidak semua meriam di Aceh adalah 
buatan luar negeri (seperti meriam buatan Turki atau Portugis). 
Orang Aceh mendapatkan ilmu pembuatan meriam ini dari orang 
Tionghoa (Kerajaan Aceh, Denys Lombard). Demikian juga dengan 
pertenakan sutera yang sudah dikuasai oleh orang Aceh yang 
kemungkinan besar diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa.

Pengganti Sultan Iskandar Muda adalah mantunya sendiri yang bernama 
Sultan Iskandar Thani (1636-41). Periode pemerintahan Iskandar 
Thani ini adalah awal dari kemerosotan Kerajaan Aceh Darussalam, 
periode pemerintahannya juga sangat singkat. Iskandar Thani tidak 
melakukan politik ekspansi wilayah lagi seperti  mertuanya dan 
lebih memusatkan kepada pengetahuan dan ajaran Islam. 

Pernah pada jaman Sultan Iskandar Thani ini orang Tionghoa 
dikenakan larangan untuk tinggal di wilayahnya, karena dianggap 
memelihara Babi. Pada jaman Iskandar Thani ini di ibukota kerajaan 
telah dibangun sebuah taman yang dinamakan "Taman Ghairah", seperti 
yang dikisahkan dalam buku Bustan us-Salatin karangan Nuruddin ar-
Raniri(orang Gujarat,penasihat Sultan,ahli tasawuf). Diceritakan 
bahwa didalam taman itu telah dibangun sebuah "Balai Cina" 
(paviliun) yang dibuat oleh para pekerja orang Tionghoa.

Peranan orang Tionghoa dibidang perdagangan di Aceh diperkirakan 
bertambah besar pada paruh kedua abad ke-17. Selain ada yang 
tinggal dan berdagang secara permanen di ibukota Aceh ini, ada juga 
pedagang musiman yang datang dengan kapal layar (10-12 kapal sekali 
datang) pada bulan-bulan tertentu seperti pada bulan Juli. Kapal-
kapal (Jung) Tionghoa tersebut juga membawa beras ke Aceh (impor 
beras dari Tiongkok). Mereka tinggal dalam perkampungan Cina dekat 
pelabuhan , yang sekarang mungkin lokasinya disekitar "Peunayong" 
(Pecinan Banda Aceh). 

Bersama dengan kapal itu juga datang para pengrajin bangsa Tionghoa 
seperti tukang kayu, mebel, cat dll. Begitu tiba mereka mulai 
membuat koper, peti uang, lemari dan segala macam lainnya. Setelah 
selesai mereka pamerkan dan jual didepan pintu rumah. Maka selama 
dua atau dua bulan setengah berlangsunglah "pasar (basar) Cina" yang 
meriah. Toko-toko penuh sesak dengan barang dan seperti biasanya 
orang-orang Tionghoa ini tidak lupa juga untuk bermain judi seperti 
kebiasaannya. Pada akhir September, mereka berlayar kembali ke 
Tiongkok dan baru kembali lagi tahun depannya. Barang-barang dari 
Tiongkok ini ada beberapa diantaranya diekspor ke India.(Kerajaan 
Aceh, Denys Lombard)


Cakra Donya


Lonceng atau  genta yang terkenal dan termasyhur (icon kota Banda 
Aceh) di Aceh ini sekarang diletakkan di Musium Aceh, Banda Aceh. 
Lonceng yang dibawa oleh Cheng Ho ini adalah pemberian Kaisar 
Tiongkok, pada abad ke-15 kepada Raja Pasai. Ketika Pasai 
ditaklukkan oleh Aceh Darussalam pada tahun 1524, lonceng ini dibawa 
ke Kerajaan Aceh. Pada awalnya lonceng ini ditaruh diatas kapal 
Sultan Iskandar Muda yang bernama `Cakra Donya " (Cakra Dunia) 
waktu melawan Portugis, maka itu lonceng ini dinamakan Cakra Donya.

Kapal Cakra Donya ini bagaikan kapal induk armada Aceh pada waktu 
itu dan berukuran sangat besar, sehingga Portugis 
menamakannya "Espanto del Mundo" (teror dunia). Kemudian Lonceng 
yang bertuliskan aksara Tionghoa dan Arab (sudah tak dapat dibaca 
lagi aksaranya sekarang) ini diletakkan dekat mesjid Baiturrahman 
yang berada dikompleks Istana Sultan. Namun sejak tahun 1915 lonceng 
ini dipindahkan ke Musium Aceh dan  ditempatkan didalam kubah hingga 
sekarang (halaman Musium). Lonceng Cakra Donya ini telah menjadi 
benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga sekarang. Lonceng ini 
juga juga merupakan bukti dan simbol hubungan bersejarah antara 
Tiongkok dan Aceh sejak abad ke-15.




Masjid Raya Baiturrahman


Masjid Baiturrahman dibangun oleh pemerintah Belanda sebagai 
pengganti masjid yang sama namanya yang dihancurkan oleh Belanda 
sebelumnya pada tahun 1874 . Jadi dalam rangka mengambil hati rakyat 
Aceh, masjid ini dibangun kembali. Peletakan batu pertamanya pada 
bulan Oktober 1879 dan selesai pada Desember 1881. Arsiteknya 
adalah seorang Belanda yang bernama Bruins dari Departemen PU. 
Bahan bangunannya banyak yang diimpor dari luar negeri seperti batu 
pualam dari Tiongkok dan besi jendela dari Belgia. 

Pembangunan masjid Baiturrahman ini dilaksanakan oleh seorang 
pemborong atau kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie.  Bukan 
saja kontraktornya seorang Tionghoa, para pekerjanya-pun hampir 
sebagian besar terdiri dari pekerja orang Tionghoa yang memiliki 
ketrampilan khusus, karena bangunan konstruksi dan detailnya cukup 
rumit. Orang Aceh yang diharapkan dapat bekerja disana ternyata 
sangat mengecewakan bouwherrnya. (Sejarah Daerah Propinsi Daerah 
Istimewa Aceh, , Depdikbud, 1991). Pada peristiwa tsunami tahun 
2004, bangunan masjid ini berdiri dengan ajaib, kokoh dan tidak 
mengalami kerusakan yang berarti, walaupun diterjang oleh pasang 
air laut yang dahsyat.


Jaman Orba



Jaman Orba (Suharto) adalah masa-masa yang gelap dalam sejarah 
komunitas Tionghoa di Aceh. Pada 8 Mei 1966, Pangdam Aceh Brigjen 
Ishak Djuarsa (orang Sunda, bukan Aceh) mengumumkan untuk mengusir 
semua warga Tionghoa dari Aceh sebelum 17 Agustus 1966. Akibatnya 
sekitar 15.000 warga Tionghoa mengungsi dengan baju dan 
perlengkapan seadanya mengungsi ke Medan. Mereka ditampung 
dijalan Metal (kamp Metal), gudang tembakau, bekas sekolah Tionghoa 
dan klenteng-klenteng. Hal yang sama dilakukan oleh Pangdam Jawa 
Timur, Jenderal Soemitro ketika itu terhadap warga Tionghoa di Jawa 
Timur.

Di kota Medan sendiri tembok-tembok penuh dengan coretan-coretan 
seperti "Orang-orang Cina pulang ! dan sekali Cina tetap Cina !". 
Di Medan-pun mereka masih diteror, seperti yang dikatakan oleh 
Pangdam Sumtera Utara pada Oktober 1966, Brigjen Sobirin Mochtar 
yang mengatakan bahwa demo-demo anti Tionghoa sampai sekarang tidak 
cukup untuk mematahkan dominasi Tionghoa dalam perekonomian setempat 
dan harus menolak atau menjual barang kepada orang Tionghoa serta 
mengawasinya agar orang-orang enggan berbelanja kesana. Ormas Orba 
seperti KAMI, KAPPI dan KENSI (pengusaha) Sumatera Utara juga 
menuntut pemerintah untuk mengusir semua warga Tionghoa dari 
Sumatera Utara dan Indonesia.

Ketika itu Tiongkok yang masih dalam kondisi kembang kempis dalam 
negerinya sendiri, terpaksa mengirim kapal "Kuang Hua" untuk 
menjemput warga Tionghoa yang diusir dari Aceh ini. Selama 4 kali 
pelayaran, kapal Kuang Hua berhasil merepatriasi sebanyak 4000 orang 
pengungsi Aceh dari Medan. Diberitakan bahwa kondisi kamp-kamp 
pengungsian di Medan itu sangat buruk kondisinya, air untuk minum-
pun sengaja dikurangi hingga beberapa pengungsi harus minum dari 
keran air WC yang disaring dan dikumpulkan.

Pada waktu itu orang-orang Tionghoa harus menolong dirinya sendiri, 
karena tidak ada negara asing, badan sosial dunia , LSM, atau badan-
badan Internasional lainnya yang (mau) membantu. Pada jaman Orba 
itu, banyak aset-aset komunitas Tionghoa diambil alih dan disita, 
seperti misalnya gedung sekolah SMA Negeri 2 dan SMP 4 yang 
sebelumnya adalah bekas sekolah Tionghoa di Banda Aceh. Demikian 
juga dengan gedung di kawasan Pusong Lhokseumawe yang pernah menjadi 
SMEA Negeri dan PGA Negeri, atau Gedung Ampera di Langsa yang juga 
pernah menjadi SMEA dan Komisariat KAPPI di Aceh Timur. Akibat 
sentimen anti Tionghoa yang keras pada saat itu (antitesis daripada 
karakter dan tradisi orang Aceh), maka banyak warga Tionghoa 
meninggalkan Aceh berpindah ke Medan, Jakarta atau kota-kota lainnya 
di Sumatera atau Indonesia.



Tsunami




Pada peristiwa tsunami tahun 2004, banyak warga Tionghoa Aceh yang 
menjadi korbannya dan meninggal. Sekitar 6000 orang Tionghoa telah 
mengungsi ke Medan dan ditampung di kamp Metal. Di kamp pengungsian 
Medan ini bukan hanya warga Tionghoa saja yang ditampung untuk 
mendapatkan akomodasi dan perawatan, warga dari etnis lainpun 
ditampung di kamp-kamp pengungsian tersebut, tanpa perbedaan..

Diperkirakan sekitar 1000 warga Tionghoa meninggal pada waktu 
peristiwa tsunami itu yang kebanyakan bermukim di "Peunayong" 
atau pusat perniagaan, perdagangan atau pecinan di Banda Aceh. 
Mereka juga banyak yang mengeluh, bahwa toko-tokonya ada yang 
dijarah ketika itu (sekitar 60% pertokoan di Banda Aceh milik warga 
Tionghoa). Tidak semua warga Tionghoa itu ekonominya berkecukupan
atau kaya di Banda Aceh, warga Tionghoa yang miskin-pun dapat 
dijumpai disana seperti mereka yang tinggal di Kampung Mulia dan 
Kampung Laksana, yang tak jauh dari Peunayong.

Dan tidak semuanya warga Tionghoa dari Banda Aceh ini mengungsi ke 
Medan, beberapa diantaranya tetap bertahan di Banda Aceh, seperti 
sepasang suami istri pemilik toko kaca mata "Joy Optikal", dimana 
separuh pelanggannya telah meninggal dunia. Pemilik toko Jay 
Optikal, Maria Herawati berkata "Hidup atau Mati, saya akan tetap 
tinggal di Aceh" (The Christian Science Monitor, February 18, 2005).

Kepedulian komunitas Tionghoa terhadap Aceh dapat dilihat juga 
dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh berbagai organisasi 
dan individu Tionghoa pada waktu pasca bencana tsunami dengan 
memberikan bantuan yang dibutuhkan, termasuk juga warga Tionghoa 
Indonesia yang bermukim di Amerika Serikat seperti ICCA (Indonesian 
Chinese American Association) yang berkedudukan di Monterey Park, 
California serta Organisasai- organisasi Tionghoa lainnya dari 
Singapore, Malaysia dan Taiwan juga datang memberikan bantuan. 

Pemerintah Tiongkok-pun telah mengirimkan 353 kontainer berisi bahan 
bangunan untuk membangun sekolah di Aceh. Bantuan dengan berat 
total 7000 ton itu akan dipakai untuk membangun 60 sekolah yang 
masing-masingnya terdiri dari 15 kelas. Bantuan ini diberikan sesuai 
dengan permintaan pemerintah Indonesia. Selain itu Dubes Tiongkok 
untuk Indonesia , Lan Li Jun, mengatas namakan sumbangan dari rakyat 
Tiongkok, memberikan sumbangan 12 juta dolar lebih untuk membangun 
pemukiman baru dengan 660 unit rumah tipe 42 di Desa Neuheuen, 
kabupaten Aceh Besar. Selain perumahan yang dibangun diatas lahan 
seluas 22,4 ha itu, akan dibangun juga gedung TK, SD, pertokoan, 
Puskesmas, balai pertemuan, tempat bermain dan lapangan sepakbola. 
Perumahan ini nantinya akan dinamakan Kampung Persahabatan Indonesia-
Tiongkok.



Pasca tsunami dan rekonstruksi Aceh



Berdasarkan pengalaman yang lalu, seperti pada pasca kerusuhan di 
Maluku (Ambon, Ternate dan Halmahera), pembangunan kembali atau 
rehabilitasi suatu daerah pasca bencana, dibutuhkan suatu kegiatan 
ekonomi untuk benar-benar dapat kembali seperti sedia kala. Adalah 
tidak cukup hanya terbatas pada rehabilitasi tempat tinggal, 
prasarana teknis dan sosial lainnya. Memiliki tempat tinggal 
tetapi tidak ada kegiatan ekonomi, berarti juga tidak memecahkan 
masalah

Tanpa adanya kegiatan ekonomi atau aktivitas perdagangan, sulit 
kiranya untuk berjalan normal kembali, seperti kemana rakyat 
nantinya menjual hasil buminya atau tangkapan ikannya. Secara 
tradisionil dan sederhana, seorang nelayan misalnya dapat berhutang 
dahulu kepada seorang pedagang atau Taoke setempat sebelum melaut 
(untuk mendapatkan bahan bakar, es batu untuk mengawetkan ikan, 
makanan, sewa perahu, perlengkapan menangkap ikan, dll).

Hasil tangkapannya atau hasil bumi ini biasanya ditampung dan 
dibeli oleh para pedagang setempat dan sebagian dipergunakan 
untuk membayar hutang atau uang mukanya kembali. Selebihnya 
dipergunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari yang disalurkan 
oleh para pedagang sebagai distributornya, dengan demikian kegiatan 
ekonomi dapat berjalan lagi. Suka atau tidak suka, model atau 
interaksi perdagangan inilah yang telah berfungsi sampai sekarang.

Metode canggih dan modern seperti mendapatkan kredit dari Bank 
Perkreditan Rakyat setempat, relatif sukar untuk dilaksanakan 
bagi nelayan atau petani kebanyakan, karena prosedur dan 
birokrasinya berbelit serta makan waktu dan biaya, pada umumnya 
mereka tidak memiliki aset yang dapat dijadikan agunan atau 
kolateral, kecuali tenaga kerjanya sendiri. Karenanya Gubernur 
Maluku telah menghimbau kepada warga Tionghoa yang berasal dari 
Ambon dan Ternate, untuk kembali kesana untuk menjalankan roda 
perekonomiannya kembali.

Demikian juga dengan di Aceh, warga Tionghoa dapat berperan 
menjalankan roda ekonominya kembali di Aceh. Berbeda dengan di 
Maluku, Aceh banyak menerima bantuan-bantuan dari lembaga 
Internasional. Tetapi inipun harus dilanjuti dengan suatu kegiatan 
ekonomi.


Kedudukan Geostrategis Aceh



Aceh dikenal sebagai salah satu propinsi yang kaya akan sumber 
alamnya di Indonesia dan kelebihan Aceh dibandingkan dengan 
propinsi lainnya di Indonesia adalah lokasinya yang strategis 
sama seperti pada abad-abad yang lalu. Aceh terletak di jalur lalu 
lintas pelayaran Internasional atau disebut SLOC (Sea Lines of 
Communication) yaitu di selat Malaka yang sangat strategis dan 
merupakan pintu gerbang yang menghubungi lautan Pasifik dengan 
lautan Hindia. 

Selat Malaka yang panjangnya sekitar 900 km itu 
diliwati sekitar 50.000 kapal setiap tahunnya serta 11 juta barel 
minyak diangkut oleh kapal tanker melintas selat ini setiap 
harinya, serta seperempat perdagangan dunia dan 80% kebutuhan 
minyak Jepang dan Tiongkok diangkut melalui selat ini.

Dari segi geografis, Aceh terletak berdekatan dengan pusat-pusat 
pertumbuhan baru di abad 21 yaitu Tiongkok dan India. Dengan kedua 
negara ini, Aceh telah memiliki hubungan perdagangan yang 
bersejarah sejak beberapa abad yang lalu. Jadi Aceh terletak 
dipersimpangan jalur perdagangan internasional dan budaya. 

Karena posisinya yang strategis ini maka Aceh menjadi pusat 
pertemuan, perhatian dan kepentingan pihak-pihak nasional dan 
internasional serta negara lainnya. Maka tidak heran kalau negara 
EU dan negara lainnya berkepentingan menjadi mediator perdamaian 
di Aceh dan beberapa orang-orang penting seperti Clinton, mantan 
presiden AS juga datang berkunjung ke Aceh lebih dari satu kali..

Pada perang kemerdekaan 1945, menjelang persetujuan Renville, 
Belanda meningkatkan blokade ekonominya terhadap Republik Indonesia, 
terutama di Jawa dan Sumatera. Sejak itu pemerintahan RI melakukan 
berbagai usaha untuk menembus blokade ini dari Aceh keluar negeri 
(Malaya, Singapura, Thailand). 

Selama perang kemerdekaan, Aceh tidak pernah dikuasai Belanda. 
Dengan demikian Aceh merupakan daerah aman atau basis untuk 
menampung senjata yang didatangkan dari luar negeri. Dalam hubungan 
ini seorang Tionghoa, Mayor John Lie beserta kawan-kawannya berhasil 
menerobos blokade Belanda melalui Aceh dengan mempergunakan speed 
boat, dan salah satu speed boatnya terkenal dengan nama " The 
Outlaw". 



Pada hakikatnya Aceh sebagai negeri yang memiliki sejarah tradisi 
Maritim, memiliki sifat keterbukaan terhadap dunia luar, terbuka 
untuk ide-de baru, kosmopolitan, multietnis dan bertoleransi serta 
tempat bertemu dan bercampurnya (melting pot) berbagai bangsa 
yang ikut membentuk identitas orang Aceh sekarang, maka Aceh 
dikenal dengan singkatan sebagai (A)rab, (C)ina, (E)ropah, (H)
industan atau India. 













TrendingMore